Awalan Berita – Indonesia mencatat angka kematian akibat Demam Berdarah Dengue (DBD) tertinggi di kawasan ASEAN. Hal ini tentu mengkhawatirkan, mengingat negara-negara lain di kawasan ini juga menghadapi tantangan yang sama. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), sejumlah faktor berkontribusi terhadap tingginya angka kematian ini. Pemahaman tentang faktor-faktor tersebut sangat penting untuk mengembangkan strategi yang lebih efektif dalam mengatasi penyebaran penyakit ini.
Demam Berdarah Dengue telah menjadi masalah kesehatan yang serius di Indonesia selama beberapa dekade. Setiap tahun, ribuan orang dirawat di rumah sakit akibat infeksi ini, dan banyak di antaranya tidak dapat diselamatkan. Menurut data yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan, pada tahun 2023, Indonesia mencatat lebih dari 120.000 kasus Demam Berdarah Dengue dengan ribuan kematian. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, atau Filipina. Tingginya angka kematian ini bukan hanya disebabkan oleh tingginya jumlah kasus, tetapi juga oleh berbagai faktor lain yang memperburuk situasi. IDAI menyebutkan bahwa kurangnya kesadaran masyarakat, keterlambatan penanganan, dan minimnya fasilitas kesehatan menjadi kontributor utama dalam tingginya angka kematian akibat DBD di Indonesia.
“Baca Juga : Ternyata Banyak Manfaat Kesehatan Hanya Dengan Berjalan Kaki Setiap Harinya! “
Kesadaran masyarakat tentang bahaya DBD masih rendah di banyak daerah di Indonesia. Banyak orang yang tidak memahami bagaimana DBD menyebar dan bagaimana mencegahnya. Nyamuk Aedes aegypti, yang menjadi vektor utama penyebaran virus DBD, berkembang biak di tempat-tempat yang penuh dengan air tergenang. Namun, banyak masyarakat yang tidak rutin melakukan pembersihan lingkungan untuk memberantas sarang nyamuk. Selain itu, banyak juga yang menganggap remeh gejala awal DBD seperti demam, sakit kepala, dan nyeri sendi. Mereka seringkali baru mencari pertolongan medis ketika kondisi sudah memburuk, yang membuat penanganan menjadi lebih sulit dan meningkatkan risiko kematian. IDAI menegaskan pentingnya meningkatkan edukasi kepada masyarakat agar lebih waspada terhadap gejala DBD dan segera mencari perawatan medis jika ada gejala yang mencurigakan.
Keterlambatan dalam mendapatkan penanganan medis menjadi salah satu faktor utama tingginya angka kematian akibat DBD di Indonesia. Di banyak daerah, terutama di wilayah pedesaan, akses ke fasilitas kesehatan yang memadai sangat terbatas. Jarak yang jauh ke rumah sakit atau pusat kesehatan membuat banyak pasien terlambat mendapatkan perawatan yang diperlukan. Selain itu, keterbatasan fasilitas kesehatan juga menjadi masalah. Banyak rumah sakit yang kekurangan tempat tidur, terutama selama musim hujan ketika jumlah kasus DBD meningkat drastis. Keterbatasan ini menyebabkan banyak pasien tidak mendapatkan perawatan intensif yang dibutuhkan, yang pada akhirnya meningkatkan angka kematian.
“Simak juga: Segala yang Perlu Anda Ketahui Sebelum Donor Darah “
Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai, terutama di daerah-daerah terpencil. Di banyak tempat, tenaga medis yang terlatih masih sangat kurang, dan alat medis yang dibutuhkan untuk menangani kasus DBD secara efektif sering kali tidak tersedia. Fasilitas kesehatan yang ada sering kali kewalahan menangani lonjakan jumlah pasien selama wabah DBD. IDAI juga menyoroti bahwa kurangnya alat-alat medis seperti infus dan obat-obatan khusus untuk menangani DBD dapat memperburuk kondisi pasien. Keterbatasan ini membuat penanganan menjadi tidak optimal dan berdampak langsung pada tingginya angka kematian.
Untuk mengatasi tingginya angka kematian akibat DBD, IDAI merekomendasikan beberapa langkah yang harus segera diambil. Pertama, edukasi masyarakat harus ditingkatkan, terutama di daerah-daerah yang rawan DBD. Kampanye yang mendorong masyarakat untuk rutin melakukan 3M Plus (Menguras, Menutup, dan Mengubur) serta penggunaan obat nyamuk harus digencarkan.
Kedua, perlu adanya peningkatan akses dan kualitas fasilitas kesehatan, terutama di daerah-daerah yang paling terdampak. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap rumah sakit dan puskesmas memiliki kapasitas yang cukup untuk menangani kasus DBD, termasuk penyediaan alat-alat medis yang diperlukan.
Ketiga, penting juga untuk meningkatkan kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengelola wabah DBD. Ini termasuk koordinasi dalam pengendalian vektor dan penanganan pasien, serta pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan program-program pencegahan DBD di lapangan.
Tingginya angka kematian akibat DBD di Indonesia merupakan alarm bagi kita semua. IDAI telah mengidentifikasi beberapa faktor kunci yang berkontribusi terhadap situasi ini, mulai dari kurangnya kesadaran masyarakat hingga keterlambatan dalam penanganan medis. Mengatasi tantangan ini memerlukan upaya kolektif dari semua pihak, mulai dari pemerintah, tenaga medis, hingga masyarakat luas. Dengan langkah-langkah yang tepat, diharapkan angka kematian akibat DBD di Indonesia dapat ditekan dan negara kita tidak lagi menjadi negara dengan angka kematian tertinggi di ASEAN.