ICC Terbitkan Surat Penangkapan untuk Dua Pemimpin Taliban
Awalan Berita – Kepala Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), Karim Khan, mengumumkan pada Kamis (23/1/2025) bahwa ia telah meminta surat perintah penangkapan terhadap dua pejabat tinggi Taliban atas dugaan penindasan sistematis terhadap perempuan. Permintaan tersebut diajukan kepada hakim ICC untuk menyetujui penangkapan pemimpin tertinggi Taliban, Hibatullah Akhundzada, dan kepala Mahkamah Agung Afghanistan, Abdul Hakim Haqqani.
Surat perintah tersebut menuduh kedua pejabat Taliban tersebut melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan dasar penganiayaan berbasis gender. “Aplikasi ini mengakui bahwa perempuan, anak perempuan, dan komunitas LGBTQI+ di Afghanistan menghadapi penindasan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan sangat tidak bermoral oleh Taliban,” ujar Karim Khan dalam sebuah pernyataan resmi, Jumat (24/1/2025), seperti dilaporkan oleh Associated Press.
Sejak kembali berkuasa pada 2021, Taliban telah melarang perempuan untuk bekerja, membatasi akses mereka ke ruang publik, dan melarang pendidikan bagi anak perempuan di atas kelas enam. Kebijakan terbaru bahkan melarang bangunan memiliki jendela yang menghadap ke tempat di mana perempuan mungkin terlihat. Namun, hingga saat ini, pemerintah Taliban belum memberikan tanggapan resmi terhadap langkah ICC tersebut.
Langkah ICC mendapatkan apresiasi dari kelompok hak asasi manusia. Direktur keadilan internasional di Human Rights Watch, Liz Evenson, menyatakan, “Pelanggaran sistematis Taliban terhadap hak-hak perempuan dan anak perempuan. Termasuk larangan pendidikan dan penindasan terhadap suara-suara pembela hak-hak perempuan, telah dilakukan tanpa akuntabilitas. Permintaan surat perintah ini memberikan jalur penting menuju keadilan.”
“Baca Juga : RI Bidik Jadi Pusat Standar Baterai Kendaraan Listrik Global”
Permintaan surat perintah ini juga mencatat sejarah sebagai langkah pertama ICC yang mengakui penyerangan terhadap komunitas LGBTQ+ sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Mempertegas komitmen global terhadap perlindungan hak asasi manusia di Afghanistan.
Hakim di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag sebelumnya menyetujui permintaan jaksa pada tahun 2022 untuk membuka kembali penyelidikan terhadap Afghanistan. Keputusan itu dibuat setelah pihak Kabul mengklaim bahwa mereka dapat menangani penyelidikan tersebut, tetapi kemudian menunjukkan tidak ada perkembangan nyata.
Jaksa ICC, Karim Khan, menyatakan alasan untuk membuka kembali penyelidikan adalah karena di bawah rezim Taliban. “Tidak ada prospek investigasi domestik yang asli dan efektif.” Langkah ini mencerminkan kekhawatiran terhadap kurangnya akuntabilitas di Afghanistan sejak Taliban kembali berkuasa.
Namun, langkah Khan mendapat kritik dari kelompok hak asasi manusia karena fokusnya hanya pada kejahatan yang dilakukan oleh Taliban dan afiliasi ISIS di Afghanistan. Khan juga mengindikasikan bahwa ia akan “mengesampingkan” penyelidikan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh pasukan Amerika Serikat. Pendahulu Khan, Fatou Bensouda, sebelumnya mendapat persetujuan pada tahun 2020 untuk menyelidiki pelanggaran yang diduga dilakukan oleh berbagai pihak. Termasuk pemerintah Afghanistan, Taliban, pasukan AS, dan agen intelijen AS, sejak tahun 2002.
Keputusan untuk menyelidiki pasukan Amerika sebelumnya memicu sanksi dari pemerintahan Trump terhadap Fatou Bensouda. Sanksi ini menggarisbawahi sensitivitas politik seputar penyelidikan terhadap pasukan AS.
Tidak ada batas waktu tertentu bagi hakim ICC untuk memutuskan permintaan surat perintah penangkapan. Tetapi keputusan biasanya membutuhkan waktu sekitar empat bulan. Misalnya, pada tahun 2023, majelis praperadilan hanya memerlukan tiga minggu untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin. Tetapi membutuhkan waktu enam bulan dalam kasus Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
“Baca Juga : RI Bidik Jadi Pusat Standar Baterai Kendaraan Listrik Global”