Awalan berita – Kabupaten Aceh Besar, terutama Pulo Breueh dan Pulo Nasi. Menjadi saksi bisu perjuangan yang tak kenal lelah dari para ibu yang hendak melahirkan. Terletak sebagai kepulauan terluar di ujung barat Provinsi Aceh, aksesibilitas ke wilayah ini sangatlah terbatas.[1] Transportasi utama mereka adalah kapal kayu nelayan, dengan perjalanan yang memakan waktu hingga dua jam. Meskipun kini telah tersedia feri yang beroperasi beberapa kali seminggu menuju Pulo Nasi.
Pulo Breueh memiliki Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang melayani 17 desa di sekitarnya. Namun, keluhan yang sering terdengar dari warga adalah jumlah tenaga medis yang minim, terutama bidan, yang hanya berjumlah empat orang.[3] Mahlini, seorang warga yang akan melahirkan anak ketiganya. Berbagi kisah mengharukan tentang perlunya evakuasi darurat di tengah laut yang bergelombang tinggi dan cuaca buruk sebelum adanya ambulans laut.
“Baca juga: Realitas Perlakuan Tidak Menyenangkan di Tempat Kerja“ [2]
“Saya masih terbayang betapa mengerikannya saat perahu terombang-ambing di ombak tinggi. Anak saya hampir saja tidak bisa dilahirkan dengan selamat,” kenang Mahlini dengan berlinang air mata.
Nilawati, seorang ibu muda yang tengah hamil lima bulan, mengekspresikan harapannya akan keberadaan bidan di setiap desa untuk memberikan pendampingan dan edukasi kepada ibu-ibu hamil. “Saat hamil anak pertama, saya harus menempuh perjalanan berulang kali ke Kota Banda Aceh hanya untuk pemeriksaan kesehatan,” ujarnya.[3] “Saya berharap pemerintah bisa menambah jumlah bidan dan tenaga medis di wilayah ini karena jarak antar desa yang terpencil seringkali mempersulit akses pelayanan medis.”
Dalam kisah yang menunjukkan dedikasi mereka, Bidan Tri Afrinawati dan Bidan Salamiah telah mendedikasikan hidup mereka di wilayah terluar ini selama 17 tahun. Meskipun berasal dari daratan Aceh, mereka enggan pindah ke pusat kesehatan yang lebih besar karena ingin terus memberikan dukungan kepada para ibu hamil di Pulo Aceh.
Tri Afrinawati berbagi pengalamannya yang menyentuh hati, “Setiap kelahiran di sini adalah pengalaman baru bagiku. Saya merasa terus berkembang dengan ilmu dan pengalaman baru setiap harinya.”
“Simak juga: Menjelajahi Keindahan Alam Selandia Baru Panduan Liburan bagi Para Petualang” [4]
Namun, tantangan yang dihadapi tidaklah mudah. Bidan Salamiah, atau akrab disapa Bidan Mia, pernah mengalami momen tegang saat merujuk seorang pasien dengan kondisi darurat di tengah laut yang bergelombang tinggi. “Kami naik perahu kecil di ombak setinggi empat meter. Saya menangis dalam hati dan berharap perahu bisa berhenti. Tapi kapten perahu memberitahu bahwa tidak mungkin berhenti karena dapat membahayakan keselamatan kita semua,” ungkapnya dengan suara bergetar.
Dari kisah-kisah ini jelas tergambar perlunya peningkatan layanan kesehatan di wilayah-wilayah terpencil seperti Pulo Breueh dan Pulo Nasi.[5] Pemerintah perlu serius mempertimbangkan penambahan jumlah bidan dan fasilitas kesehatan di sini untuk memastikan bahwa setiap ibu hamil mendapatkan perawatan yang layak. Tanpa harus menempuh risiko besar di tengah laut yang ganas.
Dengan demikian, pelayanan kesehatan yang memadai bukan lagi sekadar impian tetapi sebuah kebutuhan mendesak bagi masyarakat yang tinggal di ujung Aceh ini.
[1] https://amp.dw.com/id/kurang-bidan-warga-ujung-aceh-arungi-laut-untuk-melahirkan/a-69466036
[2] https://newsterbaru.net/berita/realitas-perlakuan-tidak-menyenangkan-di-tempat-kerja/
[3] https://m.tribunnews.com/internasional/2024/06/25/kurang-bidan-warga-ujung-aceh-arungi-laut-untuk-melahirkan?page=2
[4] https://infoinspiratif.com/berita/menjelajahi-keindahan-alam-selandia-baru-panduan-liburan-bagi-para-petualang/
[5] https://news.detik.com/berita/d-5489933/perjuangan-pasien-melahirkan-dirujuk-ke-rs-di-banda-aceh-pakai-kapal-nelayan